Liputanberita.tk - Meskipun hari sangat panas, tampaknya tidak menyurutkan niat para warga untuk membawa keluarganya berlibut ke Ruang Publik Terpedu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo, Jakarta Barat untuk memanfaatkan waktu liburan lebaran mereka.
RPTRA Kalijodo saat sekitar jam 10.30 WIB, disama terlihat dipenuhi keluarga yang membawa anak-anaknya untuk bermain memanfaatkan beragam fasilitas permainan yang disediakan.
Berbeda dengan orangtua mereka yang memilih berteduh, anak-anak tampah tidak peduli dengan panasnya terik matahari.
Mereka tampak asyik bermain jungkat-jungkit, seluncur, sepeda dan ayunan. Sesekali orangtua mereka mengingatkan anaknya untuk berhati-hati.
Sementara itu di area pintu masuk sejumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan polisi tampak berjaga di bawah terik matahari.
RPTRA di Atas Kuburan Sejarah Kelam
Sebelum berdiri RPTRA yang ramah untuk anak, Kalijodo merupakan satu kawasan yang menjadi situs bersejarah di Jakarta.
Ibu Kota konon telah melahirkan Kalijodo sebagai kawasan prostitusi sejak abad ke-18. Merujuk pada Novel Ca Bau Kan karangan Remy Silado, Kalijodo merupakan kawasan yang terletak di bibir Kali Angke yang menyediakan Cabo alias pelacur.
Ca-Bo merupakan kata dari Ca Bau Kan yang artinya perempuan namun mengalami pergeseran makna menjadi perempuan pribumi yang diperistri oleh orang beretnis Tionghoa. Para cabo itu ‘dipelihara’ Tauke dengan dandanan ala opera untuk menarik perhatian para pria hidung belang.
Tak jarang para cabo dinaikkan ke atas kapal untuk memberikan hiburan kepada pria hidung belang. Hal itu lah yang membuat Kali Angke kerap disebut sebagai kali cabo alias sungainya pelacur.
Sementara itu, sejarawan Ridwan Saidi memiliki cerita lain. kawasan Kali Jodo awalnya dikenal sebagai tempat perayaan hari raya orang-orang etnis Tionghoa, yakni perayaan Peh-Cun.
Perayaan tersebut merupakan ajang pencarian jodoh di mana para lelaki dan perempuan menaiki dua perahu berbeda untuk memilih jodoh mereka masing-masing. Tempat perahu yang ditumpangi pria dan wanita Tionghoa itu adalah Kali Angke, yakni aliran sungai yang membelah kawasan Kalijodo saat ini.
Perayaan tersebutlah yang menurut Ridwan Saidi menjadi awal mula nama Kalijodo, yakni Kali tempat orang mencari jodoh. Namun, seiring berjalannya waktu, tempat tersebut menjelma menjadi pusat prostitusi.
Sampai akhirnya, kawasan Kalijodo dihancurkan di masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Sempat mengalami penolakan dari warga, pria Tionghoa yang dikenal dengan nama Ahok itu tetap mengeksekusi penghancuran kawasan Kalijodo, sekaligus mengubur situs sejarah kelam Jakarta yang dimulai oleh etnisnya sendiri.
0 comments:
Post a Comment